Kamis, 30 Januari 2014

Catatan Kisah Pembantaian

The Act of Killing

Beberapa minggu yang lalu saya sempat menyaksikan film dokumenter yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Banyak orang luar negeri yang memuji film ini, bahkan film ini menjadi nominasi piala Oscar 2014 untuk kategori Film Dokumenter Terbaik. Di Indonesia sendiri, banyak pihak yang menyayangkan film ini, alasannya pun beragam, misalnya adalah rasa tidak terima, malu pada masyarakat dunia karena film ini menceritakan pembantaian massal di Indonesia di tahun 1960-an. Ya, kali ini saya sangat ingin menulis tentang film Jagal-The Act of Killing, film dokumenter karya sutradara Joshua Oppenheimer.

 
Sebelumnya saya ingin bercerita dulu, ketika saya menyaksikan film ini, kira-kira belum sampai separuh jalan pacar saya telepon. Saya bertanya padanya sudah nonton film The Act of Killing belum. Dia menjawab sudah, hanya diawal saja, tidak sampai habis. Pacar saya menceritakan kekhawatirannya mengenai film ini. Menurutnya, film ini membuka luka lama. Sejarah yang mungkin sebaiknya tidak perlu diungkit-ungkit. "Negara kita sudah damai, kita sudah bersatu, buat apa mengungkit kasus yang bisa menyakitkan bagi beberapa pihak", itu katanya. Ditambah lagi dia banyak menemui komentar dari anak muda yang kaget setelah melihat film itu, dan menyesali mengapa negara kita bisa sesadis ini. Nah, apakah ini kondisi yang sehat membuat penerus bangsa kita menyesali akan sejarah negaranya yang kelam?

Mendengar pendapat itu saya pun mulai mikir. Tetapi saya tidak mau mengambil kesimpulan dulu, karena saya ingin melihat film yang berdurasi dua setengah jam lebih ini sampai selesai dulu. Ditengah-tengah saya melanjutkan untuk menonton film ini, saya pun punya kekhawatiran yang sama seperti yang diungkap pacar saya, apakah film ini tidak bahaya untuk Indonesia? Adegan per adegan menggambarkan kekejian para algojo membantai mereka yang dituduh PKI. Menjadi sangat nyata karena yang beradegan dalam film ini adalah pelaku asli sejarah, salah satunya adalah Anwar Congo. Sebenarnya, saking ngerinya film dokumenter ini, saya pun mulai nggak tahan dan nggak ingin meneruskan film ini, tapi disisi lain ada rasa penasaran bagaimana ending dari film ini.

Ternyata keputusan saya untuk terus menyaksikan sampai habis benar, karena ada banyak yang saya dapatkan dari film ini. Film ini bukan hanya menunjukkan bagaimana para algojo-algojo tersebut membantai para PKI, tapi film ini juga menunjukkan pada kita bagaimana pendapat para algojo tersebut dengan apa yang sudah mereka lakukan. Diawal-awal film memang digambarkan bagaimana mereka menikmati proses pembantaian itu, tapi di akhir-akhir film digambarkan bagaimana menyesalnya mereka dengan apa yang sudah mereka perbuat. Yang lebih penting lagi, ada satu adegan yang dimana adegan ini menjawab diskusi saya dengan pacar (seperti yang saya ceritakan diatas tadi). Suatu adegan dimana sang sutradara sedang melakukan percakapan dengan Adi Zulkardi (teman Anwar Congo, sesama algojo di tahun 1960-an). Menurut saya, percakapan ini patut dipahami dan dimengerti supaya kita tidak salah menyimpulkan film ini. Seperti apa percakapannya? Saya sengaja mencatatnya sendiri demi untuk nulis di blog. Niat banget yah? Hehehe.

Inilah percakapan antara sang Sutradara film, Joshua Oppenheimer, bersama Adi Zulkardi di dalam mobil.

Joshua : J
Adi      : A
J : Bukan maksud saya membuat keadaan tidak nyaman. Tapi saya ingin kembali ke pernyataan Bapak. Dengan alasan perang Bapak tidak dihantui seperti Anwar. Tapi konfrensi Jenewa tetap menganggap yang bapak lakukan sebagai kejahatan berat.
A : Belum tentu tidak sependapat sama pengadilan internasional itu seperti yang saya katakan tadi. Bush waktu kuasa ...(satu kata ini tidak bisa saya tangkap karena nggak jelas)... benar. Saddam Hussein bikin pembunuh massal, senjata pemusnah massal, itu kebenarannya Bush. Kebenaran itu ternyata tidak benar. Jadi itu bisa jadi konvensi Jenewa itu kebenaran waktu sekarang konvensi Jenewa. Besok ada konvensi Jakarta, itu Jenewanya kita buang. Itu definisi-definisi kejahatan perang itu buatan orang yang menang. Saya pemenang. Saya mesti bikin definisi perang. Saya tidak perlu ikut definisi secara internasional.
A :  Dan ada yang lebih penting lagi. Tidak semua kebenaran itu baik. Ada kebenaran yang tidak baik, antara lain kebenaran untuk mengungkit persoalan, biarpun benar sekali persoalan diungkit-ungkit, tapi tetap tidak baik.
J : Tapi, Pak. Bagi jutaan orang yang anggota keluarganya dibunuh, bagi mereka kan kalau kebenaran bisa diungkapkan itu baik.
A : Ya, silahkan. Pembunuhan pertama itu habil dan kabil. Kenapa soal PKI yang dibunuh yang repot?! Orang Amerika bunuh orang Indian, ada nggak yang diadili?! Adili, dong!
A : Saya menganggap kalau cerita lama mau dibongkar-bongkar kembali itu berarti mengajak perang. Kita siap perang. Kalau memang dunia ini mau perang terus-menerus, kita siap. Kalau kita dipaksa untuk perang, kita siap.
Menurut saya percakapan ini adalah percakapan yang penting dalam film ini. Saya menyukai bagian ini, meskipun settingnya hanya di dalam mobil, dalam perjalanan. Disini, saya melihat sosok Adi Zulkardy adalah sosok yang lebih cerdas dalam mengungkapkan pandangan atau pendapatnya. Untuk lebih jelas mengenai film ini, silahkan saja nonton filmnya, klik disini.



Sekian dulu yang ingin saya share mengenai film penuh kontroversi ini. Mohon maaf kalau ada kata-kata yang salah. Oh iya, saya juga mohon maaf untuk pembaca tulisan ini, saya mohon untuk tidak berkomentar yang aneh-aneh di kolom komentar yang bisa menimbulkan perdebatan satu sama yang lain, mengingat isi dari film ini sangat sensitif. Tulisan ini saya buat bukan untuk berdiskusi, hanya cerita ringan mengenai pengalaman saya menyaksikan film ini. Karena pelajaran yang pernah saya petik selama ini adalah untuk tidak berdiskusi di tempat dan situasi yang tidak tepat, karena pastinya tidak akan ada habisnya, hehehe.
 

blush ON blush Copyright © 2015 -- Powered by Blogger