Senin, 26 September 2011

Reuni Kecil

Ketemu dengan teman di masa lalu membuat kita menjadi merasa lebih muda. Setidaknya dari pertemuan itu kita serasa kembali di kehidupan masa lalu, mengingat, dan mentertawakan kejadian yang kita lewati. Kita saling menanyakan kabar satu sama lain, menanyakan kabar teman-teman lain yang nggak hadir, bergosip, bercerita tentang pengalaman satu sama lain, dan tertawa nggak habis-habis dengar cerita-cerita lucu yang mereka alami. Di tengah-tengah rutinitas yang padat, yang hanya itu itu saja, pertemuan seperti ini serasa menyegarkan. Tidak hanya itu, kita bisa saling bertukar informasi yang berkaitan dengan pekerjaan, dan saling belajar mengenai profesi yang kami tekuni.    

Saya dan beberapa teman lama ex SMA Negeri 6 Surabaya, berkumpul di Plaza Tunjungan, Minggu siang, 25 September 2011. Kebetulan sekali kita punya waktu luang saat itu. Bayangkan saja, yang hadir dalam pertemuan ini satu diantaranya sudah hijrah ke Bali, jadi ceritanya hari itu dia sedang libur dan balik ke Surabaya. Dua diantaranya, termasuk saya, bukan pekerja yang libur di hari Minggu, kebetulan saja hari Minggu masuk pagi dan pulang siang, jadi begitu selesai kerja langsung cabut ke mall. Sedangkan teman saya yang satunya juga kebetulan libur di hari Minggu, padahal biasanya bukan hari Minggu. Saya nggak nyangka, sudah dewasa seperti ini ternyata selera humor mereka masih tetep sepeti dulu. Apalagi temen saya yang hijrah ke Bali itu, lihat wajahnya saja langsung pengen ngakak. Belum lagi cerita-ceritanya tentang bos-bos bule nya. Wkwkwk. Kalau nulis semua yang kami obrolin waktu itu pasti panjang sekali. Hehe. Langsung aja lihat foto-fotonya yuuukk!!! ^__^  





My O Mine

Dina Diana …



Penyiar radio adalah pekerjaan saya. Kebanggaan saya.  Impian saya semenjak kelas 5 SD. Bagi orang lain mungkin penyiar radio hanyalah sekedar penyiar. Tapi bukan bagi saya, profesi ini melebihi lainnya. Sewaktu kecil saya sering ditanya “mengapa bercita-cita menjadi penyiar radio?”. Saya menggeleng, tidak tau, suka aja. Kini ketika saya sudah dewasa & mimpi itu jadi nyata saya bisa menjawabnya dengan sangat lancar. Saya sangat mencintai profesi ini karena saya suka musik, saya ingin menghibur banyak orang, saya ingin dikenal banyak orang, & yang terpenting dari semua itu, saya suka memberikan informasi. Baik itu berupa news atau tips yang banyak bermanfaat bagi banyak orang. Saya bukan penyiar yang lucu, seperti kebanyakan penyiar radio anak muda. Mungkin itulah mengapa saat ini saya bekerja di radio dewasa yang berkonsep female & family station yang lebih banyak memberikan tips dan news. Sempat sedih memang begitu saya menyadari kalau saya tidak pandai melucu. Takut tidak bisa menghibur para pendengar. Tapi, terkasih saya memberikan semangat “Kamu bisa jadi seperti Oprah Winfrey, dia tidak terkenal karena lucu, tapi karena pintar”, Semenjak itulah percaya diri saya semakin tinggi. Okey okey tentu saja saya tidak sepandai Oprah, tapi paling tidak saya bisa belajar banyak untuk menjadi seperti dia. Bukannya mencoba meniru dia, saya tetap menjadi diri sendiri, tapi tidak ada salahnya kita belajar banyak hal dari orang yang sukses dengan kariernya.

Memasuki tahun ke 4 menjadi seorang penyiar radio di METRO Female 88,5 Surabaya (radio pertama hingga saat ini) saya masih merasa banyak hal yang harus dipelajari. Tidak hanya siaran, selama ini saya mencoba mengeksplorasi pengetahuan musik di era 80-90. Radio tempat saya bekerja memang memutar single-single di era 80-90 sampai era baru 2011. Namun saya sangat tertarik untuk mempelajari dan menemukan single langka era 80-90 yang pernah nge hits tapi terlupakan oleh banyak orang. Saya juga mulai belajar membuat program talkshow dengan tema-tema menarik dan narasumber yang sudah jadi pakarnya. Tidak hanya itu, saya juga penasaran dengan profesi marketing, sedikit demi sedikit saya mencoba belajar membuat kontrak kerjasama antara radio tempat saya bekerja dengan media cetak terbesar di Indonesia. Hasilnya, sukses. Terus berlanjut, saya mencari klien untuk beriklan di radio saya. Dan terima kasih Tuhan, sukses lagi. Tentu saja semua itu harus tetap berjalan. Selama bumi masih berputar, tugas kita adalah selalu berusaha dan belajar banyak hal.  

Kamis, 15 September 2011

9 Summers 10 Autumns, Keajaiban Dari Sebuah Kemiskinan

Pertama kali liat buku ini saat karyawan Gramedia menawarkan novel yang dibawanya. Dia menjelaskan panjang lebar mengenai kisah nyata Iwan Setyawan, anak sopir angkot dari kota batu Malang yang jadi direktur di New York City. Saya tidak terlalu fokus dengan apa yang dia jelaskan karena saya sedikit bingung, koq tumben ada pegawai Gramedia yang mempromosikan buku dengan cara seperti ini. Okey, mungkin ini "gaya" baru, pikir saya. Karena saya sedikit aneh dengan kejadian itu, akhirnya saya tidak begitu berminat untuk membeli novel itu. Sepulang dari Gramedia saya menceritakan pada sahabat kejadian yang saya anggap aneh di toko buku itu tadi. Saya juga menanyakan apakah dia pernah dengar judul novel yang ditawarkan karyawan Gramedia itu tadi. Ternyata dia tau, dan dia sangat merekomendasikan buku itu. Dia belum baca, hanya saja dia pernah melihat si penulis novel 9 Summers 10 Autumns ini pernah diundang diacara Kick Andy. Mulailah dia menceritakan secara singkat perjalanan si penulis, Iwan Setyawan. Mendengar sahabat saya bercerita ini saya jadi tertarik, keesokan harinya saya kembali ke Gramedia mencari buku itu. Sempet tanya ke karyawan yang ada disana, dan ternyata kebetulan dia sedang pegang novel itu. Dia memberikan novel itu pada saya, tapi juga menempelkan sticker dengan nama seseorang di novel itu. Begitu saya tanya untuk apa sticker itu, dia hanya bilang "gapapa koq, mbak". Hmmm... mungkin ini nama dia, mungkin buku ini sedang pasang target penjualan atau apalah yang membuat mereka akan dapat bonus kalau laku. Tapi entahlah, saya cuma menebak. Sampai rumah tanpa harus menunggu saya langsung baca buku itu. 
Inilah ulasan dari saya,

9 Summers 10 Autumns, Dari Kota Apel ke The Big Apple 
by Iwan Setyawan


Novel national best seller ini adalah novel kisah nyata. Ditulis oleh seorang anak sopir angkot di kota Batu yang akhirnya sukses menjadi Director, Internal Client Management di Nielson Consumer Research, New York. Dia anak laki-laki satu-satunya, anak ke tiga dari lima bersaudara. Di rumah kecilnya yang dihuni oleh tujuh orang mereka hidup bahagia, meskipun tidak bisa dipungkiri mereka hidup miskin. Sangat mengharukan ketika sang ibu harus memutar otak untuk menambah biaya sekolah anak-anaknya, entah apa yang dijual, piring, perabotan, semua itu untuk membantu suami yang hanya sopir angkot untuk membayar kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Baruntungnya anak-anak mereka termasuk si penulis memiliki prestasi yang luar biasa di sekolah. Sehingga mereka pun bersekolah di sekolah negeri yang sama. Seperti yang kita tau, sekolah negeri pasti jauh lebih murah dari pada sekolah swasta. Meskipun begitu kesulitan finansial masih terus dirasakan oleh keluarga si penulis. Biaya demi biaya membuat orang tua dan anak-anak mereka sama-sama mencari penghasilan. Semua itu dilakukan untuk hidup, untuk pendidikan. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana mereka (si anak-anak ini) bekerja tapi masih selalu berprestasi di sekolah.

Si penulis, Iwan Setyawan, seorang yang pendiam dan lebih suka menyendiri. Dengan latar belakang keluarganya yang miskin dia sulit bergaul dengan orang lain, apalagi kalau orang itu dari kalangan berada. Tapi dia tidak pernah berhenti bermimpi untuk menjadi bagian dari mereka. Mereka yang sukses, mereka yang terlihat eksekutif. Semasa di IPB dia belajar dengan tekun, didampingin shalat lima waktu dan shalat sunnah. Semua dia lakukan untuk bertahan dan untuk meraih mimpinya. Dia bekerja keras menjadi yang terbaik di tempat kerjanya di Jakarta, menjadi berbeda dengan yang lain. Sampai akhirnya tawaran yang melebihi mimpinya datang. Tawaran untuk bekerja di New York.  Perjalanan yang sangat panjang, kesulitan yang panjang, tapi dengan kerja keras yang sama bahkan lebih. 

Buku ini sangat inspiratif. Bagus sebagai bahan renungan kita semua. Kemiskinan tidak menghalangi kita untuk mendapatkan ilmu dan pendidikan sebaik mungkin. Asal ada niat, ada perjuangan, ada doa, dan kasih sayang keluarga, kesuksesan bisa kita raih.      
 

Jumat, 09 September 2011

Alasan Dibalik Sebuah Pilihan

Tulisan ini dibuat karena akhir-akhir ini saya sering tercengang melihat orang-orang di sekitar. Seorang teman yang akan berulang tahun saya tanya kira-kira dia ingin dapat kado apa di hari ulang tahunnya. Dan dia jawab dia pengen banget dapat boneka. Oke oke, kalau jawaban ini keluar dari seorang perempuan imut nan lugu nan feminim nan suka malu-malu kucing nan manja nan lembut dan nan-nan lainnya yang menunjukkan dia cewek banget, pasti ini bukan jawaban yang mengejutkan. Tapi ini keluar dari mulut seorang perempuan yang gayanya rocker abis, tampilannya sangar, kalo baru kenal ama orang ini pasti langsung ciut karena takut dibentak. Nah lo, heran ga kalo ternyata dia mengharapkan dikado boneka, dan lebih mengherankan ternyata sepanjang hidupnya dia memang suka mengkoleksi boneka. Oh so cute ternyata. Hehehe.

Satu kasus lain. Saya baru mengenal seseorang. Cewek, kecil, imut, feminim, potongan berponi penuh ala korea gitu, suaranya kecil banget, lembut dan sangat sopan. Sedikit mengejutkan ketika tau dia suka lagu rock yang kenceng yang bagi saya bikin telinga cenat-cenut. Mengejutkan ketika saya tau dia ga bisa nonton film yang ga ada adegan bertarungnya. Lebih mengejutkan lagi ketika saya melihat dia pake celana jeans belel yang bagian dengkulnya sobek-sobek. Saya hampir pingsan dibuatnya. Hehehe.

Dari dua kejadian ini saya bertanya-tanya, "Oh...fenomena apakah ini???"
Ternyata setelah saya renungkan dalam-dalam, memang secara tidak sadar apa yang jadi pilihan kita adalah sesuatu yang bisa menyeimbangkan karakter kita. Teman saya yang bergaya rocker mungkin perlu penyeimbang kelembutan yang bisa dia didapat dari boneka. Boneka melambangkan masa kanak-kanak yang bebas, ceria, dan tanpa tekanan. Mungkinkah ini yang dia cari? Saya sendiri ga ngerti. Kasus kedua, teman saya yang punya poni korea ini, bisa jadi dia juga mencari penyeimbang diri. Karakternya yang kalem butuh sesuatu yang membuatnya berani dan kuat yang mungkin bisa dia dapat dari musik rock, film action, dan jeans belel itu tadi. 

Tapi sekali lagi, perlu saya pertegas itu semua masih kemungkinan, hanya tebakan saya. Karena saya juga memperhatikan diri saya sendiri. Salah satu yang paling dasar saja misalnya warna favorit yang sering kita pakai. Beberapa waktu yang lalu, saya suka sekali dengan warna cerah, condongnya ke warna pink dan merah. Saya suka warna cerah, dan kebetulan seorang teman yang ahli fengshui waktu itu menyarankan saya memakai warna cerah. Karena apa? Dia bilang saya membutuhkan warna cerah karena saya bukan orang yang cheerful. Untuk itulah saya butuh bantuan warna cerah yang membuat saya tampak cheerful atau mungkin warna itu merangsang saya untuk lebih ceria. Waktu itu saya juga suka warna pink, padahal waktu masih kecil saya sangat mengutuki warna ini. Mungkin saja ketika saya menyukai warna pink ini saya sedang mencari penyeimbang diri bagi saya yang waktu itu kurang feminim, kurang berkarakter perempuan. Sedangkan warna merah yang juga saya suka, secara tidak sadar saya gunakan sebagai penyeimbang karakter saya yang pemalu, dan cenderung tidak suka jadi perhatian atau sorotan. Hasilnya, dengan bantuan warna-warna itu tadi saya merasa terdorong untuk memiliki karakter sesuai warna. Dengan warna pink saya merasa lebih peka, lebih perempuan, dan cheerful. Dengan warna merah saya jadi lebih berani dan pede. Setelah saya mendapatkan semua itu, saya berganti warna favorit lain yang saya gunakan sebagai penyeimbang karakter saya yang lain. Misalnya ketika saya sudah terlalu banyak pake warna merah yang bikin saya tidak hanya jadi pemberani tapi juga jadi pemberontak dan gampang marah, tiba-tiba saya menyukai sesuatu yang berwarna biru, warna yang menenangkan. Semua pemilihan warna tidak pernah sengaja, tiba-tiba tanpa disadari.

Intinya dari tulisan ini, kemungkinan apa yang kita pilih entah itu apa yang kita pakai atau kita sukai adalah sesuatu yang secara tidak sadar kita pilih sebagai penyeimbang karakter. Kita tidak pernah sadar kenapa pilih itu, yang kita tau kita suka, titik. Tapi kalo kita pikir lebih dalam lagi, pasti ada alasan yang mendasar kenapa kita memilih sesuatu itu. 
 

blush ON blush Copyright © 2015 -- Powered by Blogger